Daripada Sakit Gigi, Lebih Baik Sakit Hati Ini (Bukan Meggy Z)

Halo semuanya!

Walaupun enggak ada yang mendingan ya antara sakit gigi sama sakit hati, tapi kalau harus dimendang-mending saya lebih setuju sakit hati lebih mending daripada sakit gigi. Kalau sakit hati kita masih bisa makan (at least saya sih, yang kondisi sedih juga masih bisa makan sambil nangis), kalau sakit gigi kita enggak bisa makan dan justru bikin sakit hati. 

Jadi ini cerita, tentang tumbuh dewasa itu juga datang dengan masalah gigi. Mulai dari masalah gigi bungsu tumbuh miring, sampai terancam pakai gigi palsu. Sakit gigi perdana saya itu waktu kuliah semester dua. Entah kenapa hari itu rasanya kepala cenat-cenut enggak bisa mikir, gigi rasanya keteken, sambil nenteng kanvas segede gambreng ukuran 100 x 70cm saya kemudian duduk di bangku kampus. Keluarin HP, ngadu ke mama via WhatsApp. Besok sorenya saya check-up ke dokter dan ditemukanlah bolong di gigi graham. Melihat ukurannya yang masih bisa ditambal, akhirnya dilakukan tambal gigi. 

Saya pikir masalah gigi akan selesai, tapi ada seri kedunya. Sekitar tahun 2019 gigi bungsu bawah saya mulai tumbuh, sebelah kanan dan kiri. 

Gigi bungsu ini sakitnya datang dan pergi. Kadang duet maut kanan-kiri, tapi sakit sebelah kanan selalu paling dominan. Makin lama, tiap datang sakitnya makin Naudzubillah. Kalau lagi sakit saya minum obat terus nonton video YouTube orang lagi operasi gigi bungsu sampe berkali-kali biar berasa gigi saya lagi dioprek terus sembuh (aneh emang).

Yang ini favorit saya

Awal 2020 saya ronsen untuk check-up, ternyata gigi saya ini termasuk yang tumbuhnya miring, sehingga nyundul gigi depannya. Dokter waktu itu nawarin untuk cabut gigi, tapi karena beliau cuma praktek di hari kerja dan saya enggak ada jadwal yang cocok, mundurlah rencana cabut gigi sampe waktu yang ditentukan. Waktu itu juga pertimbangannya karena sedang Covid, kita lebih berhati-hati. 

Namun, akhirnya saya lambaikan tangan ke kamera, saya cari alternatif dokter lain yang bisa praktek di hari libur dan sudah mulai praktek. Alhamdulillah ketemu teman Ibu saya. Jadilah operasi gigi yang sempat tertunda lebih dari setahun terlaksana. Saya udah siap lahir batin, resepnya cukup minum obat dokter + nonton video cabut gigi bungsu di YouTube + Tidur Cukup + pasrah.

Proses berlangsung sekitar dua jam, saya enggak merasakan sakit selama cabut gigi selain prosedur ketika gigi saya digetok-getok. Setelahnya pipi saya bengkak seminggu. Walaupun pipi bengkak kayak abis tawuran, saya tetap tersenyum dan berolahraga seperti biasa, wkwkwk. Enggak ada demam atau keluhan lainnya. Seminggu atau dua minggu kemudian saya sudah bisa cabut jahitan dan aman sentosa.

Saya kira itu udah akhir dari perjalanan sakit gigi ini, walaupun saya sadar masih ada gigi bungsu sebalah kiri.

Plot twist, enam bulan kemudian bukan gigi geraham sebalah kiri yang bermasalah, tapi gigi geraham sebelah kanan yang dulu kesundul gigi bungsu tiba-tiba retak. Ya saya lalai juga enggak check-up gigi padahal jelas-jelas kesundulgan. Waktu saya pegang-pegang rasanya tinggal setengah, tapi saya masih sabodo teuing karena enggak merasa sakit (jumawa, pengin saya cubit pipi kanan kalo ketemu diri saya yang dulu.) Sampe beberapa bulan setelah retak, agak sakit kalau dipakai makan, seperti sebelumnya sakit datang dan pergi. 

Puncaknya adalah Desember 2021 ketika saya sedang makan roti di mobil perjalanan ke Jawa Timur, enggak sengaja ngunyah roti di bagian gigi yang bolong itu dan sakitnya BEH, rasanya itu gusi diteken sedelam-dalamnya pake palu sampai badan saya merinding ding ding (saya sambil ngetik masih bisa ngerasain sakitnya). Setelah 10 menit, sakitnya ilang, tapi saya bener-bener enggak berani makan pakai gigi itu.

Momen kedua adalah ketika saya sedang enak-enaknya makan Nasi Goreng Babat Pak Di di Semarang, sakit merinding itu datang lagi. Sambil meeting kerja, sambil sakit gigi, terus dihidangkan makanan enak di depan kita tuh tersiksa rasanya. Untungnya sekitar 10 menit sakitnya mulai mereda, saya benar-benar kapok dan selalu pelan-pelan ketika makan.

Sesampainya di Jakarta pun saya enggak langsung cek ke Dokter. Tapi akhirnya nyerah juga ketika dua minggu pertama bulan Januari selalu enggak bisa tidur karena sakit gigi. Saya pun check-up ke dokter dan ternyata bolongnya udah cukup besar sampai melukai bagian saraf. Saya enggak kaget sih kalau separah itu. Saya udah pasrah, pikiran saya cuma, "Kalau mesti dicabut, tolong cabut sampai ke akar-akarnya. Tolong bgt."

Dokter waktu itu menyuntikkan obat untuk matiin saraf karena saya masih kesakitan ketika coba dibor, dan akhirnya ditambal sementara. Beliau juga menyarankan ke dokter gigi spesialis untuk Root Canal Treatment. Setelah dapat referensi teman Ibu akhirnya saya check-up ke sana (beda lagi gengs, total ada empat dokter). Tentu ritual nonton YouTube kembali dilakukan. 

Yang ini favorit saya

Gambar 1 Ilustrasi keadaan gigi yang mengalami infeksi dapat menyebabkan abses odontogen. (A) Gigi normal, (B) gigi mengalami karies, (C) gigi nekrosis yang mengalami infeksi menyebabkan abses. Sumber : Douglas & Douglas, 2003


Setelah dicek dokter spesialis, beliau bilang prognosisinya abses yang sudah parah (C), sehingga lebih baik gigi dicabut. Saya langsung antusias mendengar kata-kata cabut gigi itu dan menyiapkan mental. Kemudian saya dikasih obat minum dan diarahkan check-up ke dokter gigi umum. 

Keesokan harinya ketika dicek, dokter gigi umum dengan baiknya menjelaskan opsi dan resiko dari tindakan yang akan dilakukan. Beliau bilang gigi saya ini masih bisa diperpanjang usia pemakaiannya dengan cara tambal gigi walaupun sudah bolong parah. Akhirnya saya setuju untuk tambal gigi, karena bikin gigi palsu nambah biaya lagi ya, bun, untuk kantong saya yang sekarang belum mampu. Setelah itu saya disuntik dan ternyata saya udah enggak merasakan sakit, diambilah saraf yang sakit itu dan ditambal sementara.

Seminggu kemudian tepatnya kemarin, gigi saya ditambal permanen. Seneng dikit sih, saya anggap ini pujian waktu dokternya bilang, "Mba Dina ini seperti pasien PRO, disuntik-suntik biasa aja," Antara Pro dan sakit-sakitan, yang penting Alhamdulillah sekarang sudah bisa makan dengan normal dan enggak merasakan sakit lagi.

Walaupun kantong saya kering karena rentetan check-up gigi ini, saya cuma mau bersyukur udah terlepas dari jeratan sakit gigi. Mungkin ke depannya akan ada lagi, mengingat gigi bungsu sebelah kiri ini rada rese. Tapi biar deh itu cerita buat kapan-kapan, hahaha.

Sekian curhatan saya. Kata orang bijak yang saya enggak kenal, guru terbaik adalah pengalaman orang lain. Semoga pengalaman saya ini bisa buat teman-teman lebih sadar soal sinyal-sinyal sakit gigi. Jangan sampe gigi bengkak, sampai tagihan ikut membengkak.

Salam,
Adina

Comments

Popular posts from this blog

Cerita #1

Memaknai Kuliah S1 Desain

Bulan Agustus 2022